Beranda | Artikel
Fikih Ringkas Syafii tentang Puasa
Rabu, 26 Juni 2013

Amalan yang mulia tentu saja harus dimulai dengan ilmu terlebih dahulu. Karena kita sebagai seorang muslim tidak boleh beribadah serampangan. Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang diperbuat lebih banyak daripada kebaikan yang diraih.” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 382). Jadi, biar ibadah puasa kita tidak sia-sia, dasarilah dan awalilah puasa tersebut dengan ilmu.

Kali ini Buletin At Tauhid akan mengetangahkan kajian puasa secara ringkas yang banyak merujuk pada Matan Al Ghoyah wat Taqrib (Ghoyatul Ikhtishor) karya Al Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi’i (433-593 H), di samping ada tambahan pula dari penjelasan ulama lainnya.

Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al imsak) dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, puasa adalah menahan hal tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan memenuhi syarat tertentu. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 248).

Dalil Kewajiban Puasa

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.

Dari hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji, (5) puasa Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih).  Bahkan ada dukungan ijma’ (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan.

Syarat Wajib Puasa

Kata Abu Syuja’, ada empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mampu menunaikan puasa.

Rukun Puasa

Disebutkan Matan Ghoyatul Ikhtishor, rukun puasa itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jima’), (4) menahan diri dari muntah dengan sengaja.

Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga hal:

1- At tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.

Dari Hafshoh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu Daud no. 2454. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

2- At ta’yiin, yaitu menegaskan niat, yaitu harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah.

3- At tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya. (Lihat Al Fiqhul Manhaji karya Syaikh Musthofa Al Bugho, dkk, hal. 340-341).

Kalau ada yang bertanya bagaimanakah niat puasa Ramadhan, maka mudah kami jawab, “Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup.” Karena niat itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah berkehendak mau menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah disebut berniat. Salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad Al Khotib berkata, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Ar Roudhoh.” (Al Iqna’, 1: 404).

Sepuluh Pembatal Puasa

Yang membatalkan puasa ada 10 hal sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’:

(1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), (2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala, (3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur

Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah termasuk pembatal -kata ulama Syafi’iyah- karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh. Lihat penjelasan ini dalam Kifayatul Akhyar, hal. 249.

Komentar: Pada kenyataannya, dalil begitu jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum saja. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung). Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini berarti menunjukkan tidak adanya hukum. Sehingga pendapat terkuat dalam masalah ini, yang dimaksud al jauf adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.

Juga ditambahkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman artinya bisa mengenyangkan, bukan segala sesuatu yang masuk dalam perut. Alasan yang mendukung hal ini karena yang dimaksud makan dan minum dalam berbagai dalil adalah makan yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kita.

(4) muntah dengan sengaja

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang muntah menguasainya (muntah tidak sengaja) sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, shahih).

(5) menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan

Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya secara sengaja dengan pilihan sendiri dan dalam keadaan tahu akan haramnya. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia (anal sex) atau selainnya, seperti pada hewan (dikenal dengan istilah zoophilia). Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak keluar mani.

(6) keluar mani karena bercumbu.

Yang dimaksud mubasyaroh atau bercumbu di sini adalah dengan bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan mengeluarkan mani lewat tangan (onani). Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya karena mimpi basah atau karena imajinasi lewat pikiran, maka tidak membatalkan puasa. Lihat Al Iqna’, 1: 408-409 dan Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344.

Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 560) disebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa, walau karena bercumbu.

Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata, “Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa. Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama ia tidak mencium pasangannya.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).

(7) haidh dan (8) nifas

Dari Abu Sa’id Al Khudri ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata, “Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (Muttafaqun ‘alaih).

(9) Gila dan (10) Murtad

Tiga Sunnah Puasa

(1) Menyegerakan berbuka puasa

Yang dimaksud di sini adalah ketika matahari telah benar-benar tenggelam, langsung disegerakan waktu berbuka puasa. Dalilnya adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)

(2) Mengakhirkan makan sahur

Makan sahur itu disepakati oleh para ulama, hukumnya sunnah (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 252). Mengenai anjuran makan sahur disebutkan dalam hadits, “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih).

Mengenai sunnah mengakhirkan makan sahur di sini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari makan sahur, Nabi pun berdiri untuk pergi shalat, lalu beliau shalat. Kami pun berkata pada Anas, “Berapa lama jarak antara waktu selesai makan sahur dan waktu pengerjaan shalat?” Beliau menjawab, “Sekitar seseorang membaca 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih). Ibnu Hajar berkata, “Hadits di atas menunjukkan jarak antara akhir makan sahur dan mulai shalat.” (Fathul Bari, 4: 138). Ibnu Abi Jamroh mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa sahur itu diakhirkan.” (Idem)

(3) Meninggalkan kata-kata kotor

Orang yang berpuasa sangat ditekankan untuk meninggalkan ghibah (menggunjing orang lain) dan meninggalkan dusta, begitu juga meninggalkan perbuatan haram lainnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan malah melakukan konsekuensinya, maka Allah tidak pandang lagi pada makan dan minum yang ia tinggalkan.” (HR. Bukhari).

Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata bahwa mencela, berdusta, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba) dan semacamnya termasuk perbuatan yang haram secara zatnya. Namun dari sisi orang yang berpuasa, hal ini lebih berbahaya karena bisa menghapuskan pahala puasa, walau puasanya itu sah dan telah dianggap menunaikan yang wajib. Sehingga perkara ini tepat dimasukkan dalam adab dan sunnah puasa. Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 347.

Yang Mendapatkan Keringanan Tidak Puasa

1- Orang yang sudah tua renta (sepuh)

Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa sembuh sakit lagi dari sakitnya (tidak bisa diharapkan sembuhnya).

Dalil dari hal ini adalah riwayat dari ‘Atho’, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin “. Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah mansukh (dihapus). Ayat itu berlaku untuk orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.” (HR. Bukhari).

2- Wanita hamil dan menyusui

Dalil yang menunjukkan keringanan puasa bagi keduanya adalah hadits dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Tabaroka wa Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi keringanan separuh shalat (shalat empat raka’at menjadi tiga raka’at), juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, hasan dilihat dari jalur lainnya).

Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai ayat, “ Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin“, itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah sepuh yang berat untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan menyusui jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa. (HR. Abu Daud).

3- Orang sakit dan musafir

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. ” (QS. Al Baqarah: 185).

Semoga sajian singkat ini bermanfaat. (*)

[Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Alumni Teknik Kimia UGM dan KSU Riyadh. Pernah menimba ilmu dari Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan Al Fauzan dan Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri di Riyadh, KSA. Pengasuh website Rumaysho.Com dan Pimred Muslim.Or.Id]

Ditulis di Karawaci, Tangerang, 17 Sya’ban 1434 H

Artikel RemajaIslam.Com


Artikel asli: https://remajaislam.com/418-fikih-ringkas-syafii-tentang-puasa.html